Teori behaviorisme merupakan salah satu pendekatan paling berpengaruh dalam psikologi, yang menekankan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari respons terhadap rangsangan lingkungan. Tidak seperti pendekatan lain yang menekankan aspek kognitif atau emosional, behaviorisme fokus pada perilaku yang dapat diamati dan dibentuk melalui pengalaman.
Pengertian Behaviorisme
Behaviorisme berasal dari kata “behavior” yang berarti perilaku. Teori ini menolak introspeksi sebagai alat utama dalam memahami manusia, dan lebih menekankan pengamatan objektif terhadap perilaku.
Menurut B.F. Skinner (1974), salah satu tokoh utama behaviorisme:
“Behavior is shaped and maintained by its consequences.”
(Skinner, 1974, hal. 68)
Artinya, tindakan manusia dikendalikan oleh konsekuensi atau hasil dari tindakan itu, bukan oleh pikiran atau niat.
Tokoh-Tokoh Penting Behaviorisme dan Pendapatnya
1. John B. Watson (1878–1958)
Watson dikenal sebagai pelopor behaviorisme modern. Dalam artikelnya yang terkenal “Psychology as the Behaviorist Views It” (Watson, 1913), ia menyatakan:
“Psychology as a behaviorist views it is a purely objective experimental branch of natural science.”
Ia percaya bahwa segala sesuatu tentang manusia dapat dijelaskan melalui stimulus-respons, bahkan emosi sekalipun.
2. Ivan Pavlov (1849–1936)
Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang menemukan konsep kondisioning klasik melalui eksperimen anjing yang diberi makanan sambil dibunyikan bel. Hasilnya, anjing akhirnya mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar bunyi bel, walaupun tanpa makanan.
Pavlov menunjukkan bahwa:
“Refleks dapat dipelajari melalui asosiasi berulang antara stimulus netral dan stimulus biologis.”
(Pavlov, 1927)
3. B.F. Skinner (1904–1990)
Skinner mengembangkan konsep operant conditioning, yaitu bagaimana perilaku diperkuat atau dilemahkan melalui hadiah (reinforcement) atau hukuman (punishment).
Dalam bukunya “About Behaviorism” (Skinner, 1974), ia menyebutkan:
“We cannot regard people as initiating agents, as originators of action. The environment selects.”
Prinsip Dasar Teori Behaviorisme
-
✅ 1. Perilaku Dipelajari (Learned Behavior)
Dalam perspektif behaviorisme, semua perilaku manusia—baik yang sederhana seperti menyapa orang lain, maupun yang kompleks seperti mengemudi atau berbicara di depan umum—dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan. Artinya, tidak ada perilaku yang muncul secara alami atau bawaan, melainkan merupakan hasil dari pengalaman, pembiasaan, dan penguatan yang terjadi secara berulang.
Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa mendapatkan pujian setiap kali membersihkan mainannya, akan cenderung mengulangi perilaku tersebut di masa depan. Sebaliknya, jika perilaku tertentu tidak pernah diperhatikan atau dihargai, kemungkinan besar perilaku itu akan menghilang.
📚 Miltenberger (2012) dalam bukunya “Behavior Modification” menekankan bahwa hampir semua perilaku dapat dipelajari dan dimodifikasi dengan teknik-teknik behavioristik.
(Miltenberger, 2012, edisi 5, hal. 14)
✅ 2. Stimulus dan Respons (S-R Relationship)
Salah satu pilar utama behaviorisme adalah hubungan antara stimulus dan respons. Stimulus adalah segala sesuatu dari lingkungan yang memicu reaksi, sedangkan respons adalah tindakan atau reaksi yang muncul akibat stimulus tersebut.
Contoh:
-
Ketika mendengar suara alarm (stimulus), seseorang bangun dari tidur (respons).
-
Saat ditegur guru (stimulus), siswa menjadi diam (respons).
Konsep ini pertama kali diperkuat oleh Ivan Pavlov melalui eksperimen kondisioning klasiknya, dan kemudian dikembangkan oleh John B. Watson. Hubungan stimulus-respons menjadi dasar dalam mengembangkan teknik modifikasi perilaku.
📚 Watson (1913) menyatakan bahwa semua respons manusia dapat dianalisis sebagai hasil dari paparan stimulus tertentu.
(Watson, 1913, Psychological Review)
✅ 3. Penguatan (Reinforcement)
Penguatan adalah proses memberikan konsekuensi positif agar suatu perilaku diulang di masa depan. Dalam behaviorisme, ada dua jenis penguatan utama:
-
Penguatan Positif (Positive Reinforcement): Memberikan sesuatu yang menyenangkan setelah perilaku muncul. Contohnya: memberi hadiah ketika anak menyelesaikan PR.
-
Penguatan Negatif (Negative Reinforcement): Menghilangkan hal yang tidak menyenangkan agar perilaku meningkat. Contohnya: mengurangi tugas rumah karena siswa berperilaku baik di kelas.
Menurut Skinner (1974), penguatan adalah kunci dari perubahan perilaku. Ia menyebutnya sebagai “operant conditioning,” di mana perilaku dibentuk oleh konsekuensi yang mengikuti.
📚 Skinner menyebut bahwa perilaku yang diperkuat akan bertahan lebih lama dan menjadi bagian dari kebiasaan.
(Skinner, 1974, hal. 98)
✅ 4. Hukuman (Punishment)
Berbeda dari penguatan, hukuman bertujuan mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman juga dibagi menjadi dua:
-
Hukuman Positif: Memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan, seperti teguran keras ketika melanggar aturan.
-
Hukuman Negatif: Menghilangkan sesuatu yang menyenangkan, seperti mencabut hak bermain game karena nilai jelek.
Namun, penggunaan hukuman memiliki risiko. Jika tidak dilakukan secara hati-hati, dapat menimbulkan ketakutan, rasa dendam, atau bahkan memperparah perilaku yang ingin dikendalikan. Karena itu, behavioris modern lebih menyarankan penggunaan penguatan positif dibanding hukuman.
📚 Miltenberger (2012) menekankan pentingnya mengombinasikan hukuman dengan penguatan positif agar lebih efektif dan etis.
(Miltenberger, 2012, hal. 89)
✅ 5. Tidak Fokus pada Mental Internal (Non-Mentalistic Approach)
Berbeda dengan teori kognitif yang banyak mengkaji proses mental seperti pikiran, perasaan, dan niat, behaviorisme mengabaikan aspek internal karena dianggap tidak dapat diamati secara langsung. Bagi para behavioris klasik seperti Watson dan Skinner, psikologi harus bersifat objektif dan ilmiah, sehingga hanya perilaku yang bisa diamati secara langsung yang layak diteliti.
Behaviorisme tidak menolak keberadaan pikiran atau emosi, tetapi menganggapnya tidak relevan dalam menjelaskan perilaku jika tidak bisa diukur atau diamati secara langsung. Hal ini membuat behaviorisme menjadi landasan ilmiah yang kuat dalam pengembangan metode eksperimen dan terapi berbasis bukti.
📚 Watson (1913) menyatakan bahwa “psikologi seharusnya membuang introspeksi dan fokus pada perilaku yang dapat diamati.”
(Watson, 1913, Psychological Review) -
Aplikasi Behaviorisme dalam Kehidupan Nyata
✅ 1. Pendidikan dan Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, teori behaviorisme menjadi fondasi bagi banyak metode pengajaran yang berfokus pada reward dan punishment. Guru menggunakan berbagai bentuk penguatan positif untuk memotivasi siswa dalam belajar, seperti:
-
Bintang prestasi, stiker, atau pujian untuk siswa yang rajin.
-
Peningkatan nilai atau hadiah kecil bagi siswa yang menunjukkan kemajuan.
-
Skorsing ringan atau peringatan sebagai hukuman untuk perilaku negatif.
Contoh nyata:
Seorang guru memberikan satu poin tambahan bagi siswa yang hadir tepat waktu selama seminggu penuh. Ini adalah bentuk positive reinforcement untuk membangun kebiasaan disiplin.
Menurut Slavin (2009) dalam Educational Psychology: Theory and Practice, penguatan sangat efektif untuk meningkatkan perilaku akademik siswa.
📚 (Slavin, R. E., 2009, edisi ke-9, hal. 131)
✅ 2. Modifikasi Perilaku Anak
Orang tua dan pengasuh sering menerapkan prinsip behaviorisme dalam membentuk kebiasaan anak di rumah. Beberapa teknik yang umum digunakan antara lain:
-
Reward chart (tabel penghargaan): Anak diberi stiker setiap kali menyelesaikan tugas rumah, dan setelah mengumpulkan sejumlah stiker, mereka mendapatkan hadiah.
-
Time-out: Anak yang berperilaku buruk dipisahkan sementara dari lingkungan menyenangkan untuk mengurangi perilaku tersebut.
-
Token economy: Anak-anak mengumpulkan token yang bisa ditukar dengan aktivitas favorit atau hadiah.
Teknik ini terbukti efektif dalam mengembangkan disiplin dan tanggung jawab anak sejak dini, selama dilakukan secara konsisten dan positif.
📚 Miltenberger (2012) menyarankan penggunaan sistem token sebagai bentuk penguatan yang terstruktur dalam membentuk perilaku positif pada anak.
(Miltenberger, 2012, Behavior Modification, edisi 5, hal. 213)
✅ 3. Terapi Perilaku dalam Psikologi Klinis
Dalam ranah klinis, pendekatan behavioristik digunakan untuk mengatasi gangguan psikologis atau kebiasaan maladaptif. Terapis mengandalkan teknik yang dapat diamati dan diukur secara sistematis. Beberapa teknik populer meliputi:
-
Systematic desensitization (desensitisasi sistematis): Digunakan untuk mengatasi fobia dengan memaparkan pasien secara bertahap pada objek yang ditakuti sambil dilatih relaksasi.
-
Exposure therapy: Pasien dihadapkan langsung pada situasi yang menimbulkan kecemasan dengan cara yang terkontrol.
-
Token economy system: Digunakan di rumah sakit jiwa atau institusi pendidikan khusus untuk memperkuat perilaku yang diinginkan seperti kemandirian atau kebersihan diri.
Contoh:
Seorang pasien yang mengalami OCD diberi teknik exposure dan response prevention agar terbiasa tidak melakukan kompulsinya meskipun muncul dorongan kuat.
Menurut Kazdin (2013), terapi berbasis behaviorisme terbukti sangat efektif dalam penanganan gangguan kecemasan, PTSD, dan perilaku agresif.
📚 (Kazdin, A. E., Behavior Modification in Applied Settings, edisi ke-7, 2013, hal. 348)
✅ 4. Dunia Kerja dan Manajemen SDM
Dalam lingkungan profesional, prinsip behavioristik diterapkan dalam sistem reward and punishment untuk meningkatkan kinerja dan disiplin karyawan. Penerapan behaviorisme di dunia kerja meliputi:
-
Bonus dan insentif: Diberikan kepada karyawan yang mencapai target.
-
Promosi jabatan: Sebagai bentuk penguatan positif atas kontribusi jangka panjang.
-
Surat peringatan: Sebagai hukuman atas pelanggaran atau kelalaian.
-
Penghargaan karyawan terbaik: Meningkatkan motivasi dan produktivitas tim.
Contoh nyata:
Sebuah perusahaan memberikan cuti tambahan bagi tim yang menyelesaikan proyek sebelum deadline sebagai penguatan terhadap efisiensi.
Menurut Robbins dan Judge (2019), penguatan positif seperti penghargaan karyawan sangat berpengaruh pada tingkat keterlibatan kerja dan kepuasan kerja.
📚 (Robbins, S. P., & Judge, T. A., Organizational Behavior, edisi ke-17, 2019, hal. 245)
✅ 5. Kebiasaan Pribadi dan Perubahan Diri
Teori behaviorisme juga bisa diterapkan oleh individu untuk membentuk kebiasaan sehat, seperti:
-
Menghadiahi diri sendiri setelah berhasil berolahraga.
-
Menghindari distraksi sebagai hukuman saat gagal mencapai target harian.
-
Membuat sistem “habit tracker” untuk memantau konsistensi dan memberi motivasi.
Contoh:
Seorang pekerja freelance menetapkan bahwa ia hanya boleh menonton serial favorit jika berhasil menyelesaikan pekerjaan sebelum pukul 5 sore.
Dengan mengenali pola stimulus-respons dalam diri sendiri, individu dapat menciptakan sistem penguatan yang mendukung perubahan perilaku jangka panjang.
Kritik Terhadap Teori Behaviorisme
Meskipun behaviorisme memiliki banyak kontribusi, pendekatan ini juga menuai kritik, seperti:
-
Mengabaikan proses mental: Tidak mempertimbangkan motivasi, emosi, dan kognisi.
-
Menganggap manusia seperti mesin: Tidak memberi ruang untuk kehendak bebas atau kreativitas.
-
Tidak relevan dalam beberapa konteks klinis: Pendekatan behavioristik murni tidak cukup untuk kasus gangguan kepribadian atau trauma kompleks.
Relevansi Behaviorisme di Era Modern
Meskipun pendekatan kognitif dan humanistik kini lebih dominan, prinsip behavioristik tetap digunakan, terutama dalam:
-
Applied Behavior Analysis (ABA) untuk anak dengan spektrum autisme
-
CBT (Cognitive Behavioral Therapy) yang merupakan penggabungan pendekatan kognitif dan behavioristik
-
Pengembangan teknologi edukasi, seperti gamifikasi dalam pembelajaran
Kesimpulan
Behaviorisme memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana lingkungan membentuk perilaku manusia. Teori ini membekali dunia pendidikan, psikologi klinis, dan manajemen dengan pendekatan yang berbasis bukti dan dapat diukur. Walaupun keterbatasannya dalam memahami aspek internal manusia menjadi sorotan, pemahaman tentang penguatan, stimulus-respons, dan modifikasi perilaku tetap relevan hingga kini.
Referensi:
-
Pavlov, I. P. (1927). Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity of the Cerebral Cortex. Oxford University Press.
-
Watson, J. B. (1913). Psychology as the Behaviorist Views It. Psychological Review, 20(2), 158–177.
-
Skinner, B. F. (1974). About Behaviorism. New York: Alfred A. Knopf.
-
Miltenberger, R. G. (2012). Behavior Modification: Principles and Procedures (5th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.