Dalam perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian, sifat ketangguhan atau resilience menjadi kunci utama untuk menghadapi berbagai cobaan. Resilience bukanlah sekadar kemampuan untuk bertahan, tetapi juga kemampuan untuk tumbuh dan berkembang meskipun dihadapkan pada kesulitan. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi konsep resilience dan menggali lebih dalam tentang bagaimana sifat ini dapat menjadi pondasi kokoh dalam menghadapi berbagai rintangan.
Resilience tidak hanya relevan dalam konteks individu, tetapi juga penting dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari lingkungan kerja hingga lingkungan sosial. Bagaimana kita merespon stres, kegagalan, atau perubahan tidak hanya mencerminkan ketangguhan individu, tetapi juga membentuk dinamika komunitas tempat kita berada.
Melalui pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi resilience, kita dapat mengembangkan strategi yang memperkuat daya tahan diri. Artikel ini akan membahas aspek-aspek kunci dari resilience, termasuk bagaimana mengelola stres, membangun jaringan dukungan, dan mengubah pola pikir negatif menjadi peluang untuk pertumbuhan.
Dengan mengeksplorasi konsep resilience, kita dapat menggali kekuatan internal yang dapat menjadi pendorong untuk menghadapi tantangan hidup. Bagaimana kita merespon, belajar dari, dan tumbuh melalui pengalaman sulit dapat membentuk tidak hanya kualitas individu, tetapi juga kualitas masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Emmy E. Werner (dalam Desmita, 2012), sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena: (1) perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “berisiko tinggi” (high-risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orangtua; (2) kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan, seperti peristiwa-peristiwa di sekitar perceraian orangtua mereka; dan (3) keesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara dan kamp konsentrasi. Untuk dapat berkembang secara positif atau sembuh dari kondisi-kondisi stres, trauma dan penuh risiko tersebut, manusia membutuhkan keterampilan resiliensi, yang meliputi: (1) kecakapan untuk membentuk hubungan-hubungan (kompetensi sosial); (2) keterampilan memecahkan masalah (metakognitif); (3) keterampilan mengembangkan sense of identy (otonomi); dan (4) perencanaan dan pengharapan (pemahaman tentang tujuan dan masa depan) (Werner & Smith, dalam Desmita 2012).
Menurut Reivich dan Shatte (2002), Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Selain itu Grotberg juga mengartikan Resiliensi sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya (dalam Desmita 2012). Wolin dan Wolin (1993) dalam penelitian terdahulu mengartikan “mengatasi” ini sebagai bentuk ketahanan dan mendefinisikannya sebagai “process of persisting in the face of adversity”, yang berarti proses bertahan dalam menghadapi kesulitan (Sixbey, 2005).
Cassen dkk (dalam Ekasari dan Andriyani, 2013), menjelaskan ketahanan atau resilience sebagai adaptasi positif dalam menghadapi kesulitan. Ini adalah proses yang menggambarkan cara di mana beberapa individu mencapai hasil yang baik, meskipun secara fakta bahwa mereka berada pada risiko tinggi. Connor dan Davidson (2003) mengatakan bahwa “Resilience embodies the personal qualities that enable one to thrive in the face of adversity.” Yang berarti bahwa resiliensi adalah kualitas pribadi yang memungkinkan individu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan.
Richardson (dalam Hidayati, 2014) menjelaskan resiliensi adalah istilah psikologi yang digunakan untuk mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengatasi dan mencari makna dalam peristiwa seperti tekanan yang berat yang dialaminya, dimana individu meresponnya dengan fungsi intelektual yang sehat dan dukungan sosial. Desmita (2012) mengatakan bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap orang. Hal ini adalah karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh adversity (kondisi yang tidak menyenangkan). Adversity ini menantang kemampuan manusia untuk mengatasinya, untuk belajar darinya, dan bahkan untuk berubah karenanya.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi dan mengatasi situasi serta mengambil makna dari peristiwa yang berisiko dan penuh tekanan melalui fungsi intelektual yang sehat dan dukungan sosial, sehingga individu dapat menjadi kuat dan bangkit dari keterpurukannya.
Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi. Adapun tujuh kemampuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Regulasi Emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang resilien menggunakan serangkaian keterampilan yang telah dikembangkan untuk membantu mengontrol emosi, atensi, dan perilakunya. Kemampuan regulasi penting untuk menjalin hubungan interpersonal, kesuksesan kerja, dan mempertahankan kesehatan fisik. Tidak setiap emosi harus diperbaiki atau dikontrol. Ekspresi emosi secara tepatlah yang menjadi bagian dari resiliensi.
2. Kontrol Impuls
Kontrol impuls adalah kemampuan untuk mengontrol dorongandorongan yang ada dalam diri dan menunda kepuasan. Kontrol impuls berkaitan erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kontrol impuls yang kuat, cenderung memiliki regulasi emosi yang rendah cenderung menerima keyakinan secara impulsif, yaitu suatu situasi sebagai kebenaran dan bertindak atas dasar hal tersebut. Kondisi ini seringkali menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat menghambat resiliensi.
3. Optimisme
Individu yang resilient adalah individu yang optimis. Individu akan merasa yakin bahwa berbagai hal dapat berubah menjadi lebih baik. Individu tersebut juga memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya akan dapat mengontrol arah kehidupan dengan baik. Dibandingkan orang yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, cenderung tidak mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam bekerja, dan lebih berprestasi dalam olahraga. Hal ini merupakan fakta yang ditunjukkan oleh ratusan studi yang terkontrol dengan baik.
4. Analisis Kausal
Analisis kausal merupakan istilah yang merujuk pada kemampuan individu untuk secara akurat mengidentifikasikan penyebab-penyebab dari permasalahan mereka. Jika seseorang tidak mampu untuk memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut akan membuat kesalahan yang sama.
5. Empati
Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat membaca petunjuk dari orang lain berkaitan dengan kondisi psikologis dan emosional orang tersebut. Beberapa individu dapat menginterpretasikan perilaku non verbal orang lain, seperti ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, serta menentukan apa yang dipikirkan dan dirisaukan orang tersebut. Ketidakmampuan dalam hal ini akan berdampak dalam kesuksesan bisnis dan menunjukkan perilaku non resilien.
6. Self-Efficacy
Self-Efficacy menggambarkan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang di alaminya dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai kesuksesan. Dalam lingkungan kerja, seseorang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya untuk memecahkan masalah muncul sebagai pemimpin.
7. Pencapaian
Pencapaian menggambarkan kemampuan seseorang untuk meningkatkan aspek positif dalam diri. Dalam hal ini terkait dengan keberanian seseorang untuk mencoba mengatasi masalah ataupun melakukan hal-hal yang berada di luar batas kemampuan (berani mengambil resiko). Individu yang resilien menganggap masalah sebagi suatu tantangan bukan ancaman.
Reivich dan Shatte (2002), mengatakan bahwa resiliensi memiliki fungsi sebagai berikut:
- Mengatasi (Overcoming)
Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalahmasalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian- kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
- Mengendalikan (Steering Through)
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul.
- Efek kembali (Bouncing Back)
Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri.
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
- Menjangkau (Reaching Out)
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESILIENCE
Menurut Resnick, dkk (2011), terdapat empat faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu, yaitu:
- Self-Esteem
Memiliki self-esteem yang baik pada masa individu dapat membantu individu dalam menghadapi kesengsaraan.
- Dukungan Sosial (Social Support)
Dukungan social sering dihubungkan dengan resiliensi bagi mereka yang mengalami kesulitan dan kesengsaraan akan meningkatkan resiliensi dalam dirinya ketika pelaku social yang ada di sekililingnya memiliki support terhadap penyelesaian masalah atau proses bangkit kembali yang dilakukan oleh individu tersebut.
- Spiritualitas
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiliensi pada individu adalah ketabahan atau ketangguhan (hardiness) dan keberagamaan serta spiritualitas. Dalam hal ini pandangan spiritual pada individu percaya bahwa tuhan adalah penolong dalam setiap kesengsaraan yang tengah di alaminya, tidak hanya manusia yang mampu menyelesaikan segala kesengsaraan yang ada, dan dalam proses ini individu percaya bahwa tuhan adalah penolong setiap hamba.
- Emosi Positif
Emosi positif juga merupakan faktor penting dalam pembentukan resiliensi individu. Emosi positif sangat di butuhkan ketika menghadapi suatu situasi yang kritis dan dengan emosi positif dapat mengurangi stress secara lebih efektif. Individu yang memiliki rasa syukur mampu mengendalikan emosi negative dalam menghadapi segala permasalahan di dalam kehidupan.