ADVERSITY QUOTIENT

Pengertian Adversity Quotient

 1. Pengertian Adversity Quotient

Istilah adversity quotient diambil dari konsep yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz, Ph.D, presiden PEAK Learning, Inc. seorang konsultan di dunia kerja dan pendidikan berbasis skill (Stoltz, 2000). Konsep kecerdasan (IQ dan EQ) yang telah ada saat ini dianggap belum cukup untuk menjadi modal seseorang menuju kesuksesan, oleh karena itu Stoltz kemudian mengembangkan sebuah konsep mengenai kecerdasan adversity.

Adversity dalam kamus bahasa Inggris berarti kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan quotient diartikan sebagai kemampuan atau kecerdasan. Sedangkan menurut Stoltz, adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan (Stoltz, 2000).

Menurutnya konsep ini bisa terwujud dalam tiga bentuk yaitu: 1) sebagai kerangka konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan semua aspek keberhasilan; 2) sebagai ukuran bagaimana seseorang merespon kemalangan; dan 3) sebagai perangkat alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kemalangan. Dengan kata lain adversity quotient merupakan suatu kemampuan untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala masalah ataupun kesulitan hidup.

 

2. Aspek-aspek Adversity Quotient

 Adversity quotient sebagai suatu kemampuan terdiri dari empat dimensi yang disingkat dengan sebutan CO2RE yaitu dimensi control, origin- ownership, reach, dan endurance (Stoltz, 2000). Berikut ini merupakan penjelasan dari keempat dimensi tersebut:

1. Control (Pengendalian)

Kendali yaitu sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi dan mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi apapun. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur, kendali yang dirasakan jauh lebih penting. Dimensi control ini merupakan salah satu yang paling penting karena berhubungan langsung dengan pemberdayaan serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya.

2. Origin-Ownership (Asal-usul dan Pengakuan)

Yaitu sejauh mana seseorang menanggung akibat dari suatu situasi tanpa mempermasalahkan penyebabnya. Dimensi asal-usul sangat berkaitan dengan perasaan bersalah yang dapat membantu seseorang belajar menjadi lebih baik serta penyesalan sebagai motivator. Rasa bersalah dengan kadar yang tepat dapat menciptakan pembelajaran yang kritis dan dibutuhkan untuk perbaikan terus-menerus. Sedangkan dimensi pengakuan lebih menitik beratkan kepada “tanggung jawab” yang harus dipikul sebagai akibat dari kesulitan. Tanggungjawab di sini merupakan suatu pengakuan akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya.

3. Reach (Jangkauan)

Yaitu sejauh mana seseorang membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain dalam pekerjaan dan kehidupannya. Seseorang dengan AQ tinggi memiliki batasan jangkauan masalahnya pada peristiwa yang dihadapi. Biasanya orang tipe ini merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas.

4. Endurance (Daya Tahan)

Yaitu seberapa lama seseorang mempersepsikan kesulitan ini akan berlangsung. Individu dengan AQ tinggi biasanya memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, sedangkan kesulitan-kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara.

 

3. Tingkatan dalam Adversity Quotient

Stoltz mengelompokkan individu berdasarkan daya juangnya menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Penggunaan istilah ini dari kisah pendaki Everest, ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian, merasa puas sampai pada ketinggian tertentu, dan mendaki terus hingga puncak tertinggi.  Kemudian Stoltz menyatakan bahwa orang yang menyerah disebut quitter, orang yang merasa puas pada pencapaian tertentu sebagai camper, dan seseorang yang terus ingin meraih kesuksesan disebut sebagai climber.

Dalam bukunya, Stoltz menyatakan terdapat tiga tingkatan daya tahan seseorang dalam menghadapi masalah, antara lain (Stoltz, 2000):

1. Quitters

Quitters yaitu orang yang memilih keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Individu dengan tipe ini memilih untuk berhenti berusaha, mereka mengabaikan menutupi dan meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk terus berusaha. Dengan demikian, individu dengan tipe ini biasanya meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

2. Campers

Campers atau orang-orang yang berkemah adalah orang-orang yang telah berusaha sedikit kemudian mudah merasa puas atas apa yang dicapainya. Tipe ini biasanya bosan dalam melakukan pendakian kemudian mencari posisi yang nyaman dan bersembunyi pada situasi yang bersahabat. Kebanyakan para campers menganggap hidupnya telah sukses sehingga tidak perlu lagi melakukan perbaikan dan usaha.

3. Climbers

Climbers atau si pendaki adalah individu yang melakukan usaha sepanjang hidupnya. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan kerugian, nasib baik maupun buruk, individu dengan tipe ini akan terus berusaha.

 

Profil yang lebih lengkap mengenai ketiga tingkatan AQ dapat dilihat dapa tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1

Profil Quitter, Camper, dan Climber (Sriati, 2008)

 

Profil

Ciri, Deskripsi, dan Karakteristik

Quitter

 

1.   Menolak untuk mendaki lebih tinggi lagi

2.   Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan tidak “lengkap”

3.   Bekerja sekedar cukup untuk hidup

4.   Cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesungguhnya

5.   Jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati

6.   Dalam menghadapi perubahan mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan menyabot perubahan

7.   Terampil dalam menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol” dan sebagainya.

8.   Kemampuannya kecilatau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa

depan, konribusinya sangat kecil.

Camper

1.   Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti” di pos tertentu, dan merasa cukup sampai disitu

2.   Cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satisficer)

3.   Masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha.

4.   Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya

5.   Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada

6.   Menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis, misalnya, “ini cukup bagus”, atau “kita cukuplah sampai di sini saja”

7.   Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga

8.   Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka

“berkemah” di situ

Climber

1.   Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan

2. Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya

3. Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup; merekacenderung membuat segala sesuatu terwujud

4. Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia menerima kritik

5. Menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke arah yang positif

6. Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan

7.  Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya

8. Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup

 

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient

 Paul G. Stoltz dalam bukunya menggambarkan potensi dan daya tahan individu dalam sebuah pohon yang disebut pohon kesuksesan. Aspek- aspek yang adadalam pohon kesuksesan tersebut yang dianggap mempengaruhi adversity quotient seseorang, diantaranya (Stoltz, 2000):

1. Faktor Internal

  • Genetika

Warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini. Beberapa riset-riset terbaru menyatakan bahwa genetika sangat mungkin mendasari perilaku. Yang paling terkenal adalah kajian tentang ratusan anak kembar identik yang tinggal terpisah sejak lahir dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Saat mereka dewasa, ternyata ditemukan kemiripan-kemiripan dalam perilaku.

  • Keyakinan

Keyakinan mempengaruhi seseorang dalam mengahdapi suatu masalah serta membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup.

  • Bakat

Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan.

  • Hasrat atau Kemauan

Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau disebut hasrat. Hasrat menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat.

  • Karakter

Seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Karakter merupakan bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup berdampingan secara damai.

  • Kinerja

Merupakan bagian yang mudah dilihat orang lain sehingga seringkali hal ini sering dievaluasi dan dinilai. Salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan hidup dapat diukur lewat kinerja.

  • Kecerdasan

Bentuk-bentuk kecerdasan kini dipilah menjadi beberapa bidang yang sering disebut sebagai multiple intelligence. Bidang kecerdasan yang dominan biasanya mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi.

  • Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik dapat memepengaruhi seseorang dalam menggapai kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan sakit akan mengalihkan perhatiannya dari msalah yang dihadapi. Kondisi fisik dan psikis yang prima akan mendukung seseorang dalam menyelesaikan masalah.

 

2. Faktor Eksternal

  • Pendidikan

Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Gest. Dkk.. (1999 dalam McMillan dan Violato, 2008) menyebutkan bahwa meskipun seseorang tidak menyukai kemalangan atau kesengsaraan yang diakibatkan oleh pola hubungan dengan orang tua, namun permasalahan orang tua secara langsung ikut berperan dalam perkembangan ketahanan remaja. Salah satu sarana dalam pembentukan sikap dan perilaku adalah melalui pendidikan.

  • Lingkungan

Lingkungan tempat individu tinggal dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon kesulitan yang dihadapinya. Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih tinggi. Menurut Stoltz, individu yang terbiasa berada di lingkungan yang sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapi.

 

5. Peranan Adversity Quotient dalam Kehidupan

Faktor-faktor kesuksesan berikut ini dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian individu serta cara individu tersebut merespon kesulitan, diantaranya (Stoltz, 2000):

1. Daya Saing

Jason Sattefield dan Martin Seligman (Stoltz, 2000), dalam penelitiannya menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.

2. Produktivitas

Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat antara kinerja dan cara-cara pegawai merespon kesulitan. Seligman (2006) membukitkan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

3. Kreativitas

Joel Barker (dalam Stoltz, 2005. h. 94), kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.

4. Motivasi

Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang AQ-nya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.

5. Mengambil Resiko

Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2005) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian.

6. Perbaikan

Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa bertahan hidup dikarenakan individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik, sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.

7. Ketekunan

Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan.

8. Belajar

Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola- pola yang lebih optimis.

9. Merangkul Perubahan

Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2005), menemukan individu yang memeluk perubahan cendrung merespon kesulitan secara lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat, individu merespon dengan merubah kesulitan menjadi peluang. Orang- orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh kesulitan.

 

 6. Pengembangkan Adversity Quotient (AQ)

 Menurut Stoltz, cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD (Stoltz, 2000), yaitu:

1. Listened (Dengar)

Mendengarkan respon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam mengubah AQ individu. Individu berusaha menyadari dan menemukan jika terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi atau rendah, serta menyadari dimensi AQ mana yang paling tinggi.

2. Explored (Gali)

Pada tahap ini, individu didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari masalah. Setelah itu menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternatif tindakan yang tepat.

3. Analized (Analisa)

Pada tahap ini, individu diharapkan mampu menganalisa bukti apa yang menyebabkan individu tidak dapat mengendalikan masalah, bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari semestinya. Fakta- fakta ini perlu dianalisa untuk menemukan beberapa faktor yang mendukung AQ individu.

4. Do (Lakukan)

Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Sebelumnya diharapkan individu dapat mendapatkan informasi tambahan guna melakukan pengendalian situasi yang sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan itu terjadi.

 

 

Konsultan Psikologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *