Pengertian Tes Menurut Ahli

Pengertian Tes

 

Apakah tes itu?, kata tes berasal dari bahasa latin ‘Testum’ yaitu alat untuk mengukur tanah. Dalam bahasa Prancis kuno, kata tes berarti ukuran yang dipergunakan untuk membedakan emas dan perak dari logam-logam yang lain. Lama kelamaan arti tes menjadi lebih umum. Di dalam lapangan psikologi kata tes mula-mula digunakan oleh J. M. Cattel pada tahun 1890. Dan sejak itu makin popular sebagai nama metode psikologi yang dipergunakan untuk menentukan (mengukur) aspek-aspek tertentu dari pada ke pri-badian (Azwar, 1987).

Tes menurut Cronbach : “a tes is a systematic procedure for comparing the behavior of two or more person“. Dan menurut Flo-Rence L Goodenough : “A tes is a task or a series of tasks given of individual or groups with the purpose of answer trainning their relatives  proficiency as compared to each other or to standard previously set up on the basic the performance of similar groups “. Sedangkan tes menurut Sundberg : “Tes Suatu metode untuk menjaring data berupa perilaku individu yang berlangsung dalam suatu situasi yang baku”.

Pengertian tes menurut Suryabrata (1993) adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan yang berdasar atas bagaimana testee menjawab. Anastasi (1997) mengemukakan bahwa esensi dari tes merupakan penentuan yang obyektif dan distandardisasikan terhadap sample tingkah laku. Pengertian tes menurut Chaplin (2001) yaitu sebarang pengukuran yang membuahkan data kuantitatif, seperti satu tes yang tidak dibakukan dan diterapkan dalam satu kelas di sekolah. Satu perangkat pertanyaan yang sudah dibakukan, yang dikenakan pada seseorang dengan tujuan untuk mengukur perolehan atau bakat pada satu bidang tertentu.

Pengertian tes di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tes dapat didefinisikan sebagai berikut: Suatu tugas atau serangkaian tugas, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintah. untuk dijawab dan dilaksanakan. Hasil dari tes tersebut dapat dibandingkan.

 

baca juga : Pembahasan mengenai Tes MBTI

 

Tes Psikologi menurut Anastasi, merupakan salah satu dari metode psikodiagnostik. Sedangkan Psikodiagnostik merupakan terjemahan dari istilah Psichodiagnosis dalam bahasa Inggris yang dimunculkan pertama kali oleh Herman Rorschach pada tahun 1921. Menurut Chaplin pengertian Psikodiagnostik adalah sebarang teknik untuk mempelajari kepribadian, bertujuan untuk menentukan sifat-sifat yang mendasarinya, khususnya sifat yang menentukan kecenderungan seseorang pada penyakit mental.

Psikodiagnostik adalah teknik-teknik untuk melakukan pemeriksaan psikologis guna menemukan sifat-sifat yang mendasari kepribadian tertentu, terutama yang mengarah pada kelainan-kelainan tertentu. Misalnya, rasa cemas, takut (phobia), apatis, agresif dan sebagainya (Ki Fudyartanta, 2004). Sedangkan menurut James Drever adalah “The attempt to assess personal characteristics thtough of the observation of external features, as in physiognomy, craniologi, gravanologi, study of voice, gait, etc“ Dalam kamus lengkap psikologi ditulis, Psichodiagnosis (psikogiagnosa), adalah sebarang teknik untuk mempelajari kepribadian, bertujuan untuk menentukan sifat-sifat yang mendasarinya, khususnya sifat yang menentukan kecen de-rungan seseorang pada penyakit mental.

Pengertian tes menurut Suryabrata (1993) adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan yang berdasar atas bagaimana testee menjawab. Anastasi (1988) mengemukakan bahwa esensi dari tes merupakan penentuan yang obyektif dan distandardisasikan terhadap sample tingkah laku.

 

Faktor-faktor yang Terkait dengan Tes

Dalam melakukan tes atas berbagai orang, penting untuk membedakan antara faktor-faktor yang mempengaruhi baik tes maupun perilaku kriteria serta faktor-faktor yang pengaruhnya terbatas pada tes. Faktor-faktor yang disebut terakhir inilah faktor-faktor yang terkait dengan tes yang mengurangi validitas. Contoh dari faktor-faktor tersebut mencakup pengalaman sebelumnya dalam mengikuti tes, motivasi untuk berhasil dalam tes, hubungan dengan penguji, penekanan berlebihan pada kecepatan dan variabel-variabel apapun lainnya yang mempengaruhi kinerja pada tes tertentu tapi tidak relevan pada domain perilaku luas yang dipertimbangkan. Upaya-upaya khusus seharusnya dilakukan untuk mengurangi operasinya faktor-faktor yang terkait dengan tes ini ketika menguji orang-orang dari latar belakang budaya tidak sama atau penyandang cacat.

Isi tes khusus juga bisa mempengaruhi skor-skor tes melalui cara-cara yang tidak terkait dengan kemampuan yang memang hendak diukur oleh tes tersebut. Dalam tes penalaran aritmatika misalnya penggunaan nama atau gambar obyek yang tidak akrab dalam lingkungan budaya tertentu akan merupakan kekurangan yang membatasi tes. Cara lain yang lebih halus, di mana isi tes tertentu bisa cukup mempengaruhi kinerja adalah melalui respon emosional dan attitudinal (sikap) para peserta tes. Cerita atau gambar yang me -motret suasana keluarga kelas menengah pada umumnya, misalnya bisa membuat terasing seorang anak yang dibesarkan dalam rumah di tengah kota berpenghasilan rendah.

Pengujian orang-orang dengan latar belakang budaya serta riwayat pengalaman yang berbeda-beda dan juga para penyandang cacat adalah keprihatinan yang luas dalam testing standar. Orientasi umum ini dicerminkan dalam berbagai standar individu untuk pengembangan serta penggunaan tes. Di samping itu, bab-bab khusus dengan perangkat standar mereka sendiri berhadapan de-ngan isu-isu dalam pengujian orang-orang dengan kondisi tidak menguntungkan serta perbedaan bahasa.

Sejauh ini pertimbangan paling penting dalam pengujian ber bagai kelompok sebagaimana dalam semua testing berkaitan dengan penaksiran skor-skor tes. Perasaan was-was yang paling sering muncul sehubungan dengan penggunaan tes pada anggota ke-lompok minoritas berasal dari salah penaksiran atas skor-skor. Jika peserta tes minoritas memperoleh skor yang rendah pada sebuah tes bakat atau skor yang menyimpang pada sebuah tes kepribadian, adalah penting untuk menyelidiki mengapa ia mendapatkan skor itu. Contohnya, skor yang rendah pada tes aritmatika bisa diakibatkan oleh motivasi mengikuti tes yang rendah, kemampuan membaca yang buruk, pengetahuan yang tidak memadai tentang aritmatika, diantara berbagai kemungkinan alasan lainnya. Perhatian juga harus diberikan pada jenis norma yang digunakan dalam mengevaluasi skor-skor individu.

Tes dirancang untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan seorang individu pada waktu tertentu. Tes tidak bisa memberitahu kita mengapa dia melakukan tugas tertentu sebagaimana dia mela-kukannya. Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu meneliti latar belakang, motivasi dan lingkungan berkaitan lainnya. Tes juga tidak bisa memberitahu bagaimana mungkin seorang anak yang dalam hal budaya atau pendidikan tidak diuntungkan, bisa berkembang  jika ia dibesarkan dalam situasi yang lebih baik. Lagi pula tes tidak bisa memberikan kompensasi untuk penyimpangan budaya demi menghapuskan efek-efeknya dari skor tes yang bersangkutan. Sebaliknya, tes seharusnya mengungkapkan efek-efek seperti itu sehingga langkah-langkah perbaikan bisa dilakukan.

Serangan terhadap testing kerapkali gagal membedakan antara sumbangan yang positif dari testing terhadap keadilan (kejujuran) dalam pengambilan keputusan serta penyalahgunaan tes sebagai  jalan pintas untuk keputusan yang dipertimbangkan secara cermat. Memandang testing dalam konteks sosialnya, Committe on Ability Testing mendesak agar tes dipandang bukan sebagai obat mujarab atau sebagai kambing hitam bagi masalah-masalah masyarakat dan agar sasaran-sasaran masyarakat untuk meningkatkan kesempatan bagi anggota kelompok minoritas yang bersangkutan seharusnya tidak dicampuradukan dengan validitas proses testing, dalam per-nya taan yang penting, komisi menyatakan, ”Usaha untuk mencari masyarakat yang lebih pantas telah menempatkan kemampuan testing pada pusat kontroversi dan memberi reputasi yang berlebihan untuk yang buruk dan yang baik”. Kenyataan ini masih berlaku dan dalam konteks kurangnnya alternatif yang tepat akan terus berlaku untuk wilayah yang cukup lama.

Ringkas kata, tes-tes tentu saja bisa disalahgunakan pada kelompok minoritas seperti halnya pada siapapun saja. Meskipun begitu bila digunakan dengan tepat, tes-tes bisa menjalankan fungsi yang penting dalam pencegahan diskriminasi yang tidak relevan dan tidak adil. Bila melakukan evaluasi atas konsekuensi sosial testing, kita perlu menaksir secara teliti konsekuensi-konsekuensi sosial dari tidak dilakukannya testing dan dengan demikian bersandar pada prosedur-prosedur lain untuk mengambil keputusan, yang lebih kurang fair dibanding testing. Selanjutnya dalam menentukan konsekuensi testing, kita harus teliti membedakan konsekuensi peng-gunaan tes yang tepat dari konsekuensi penyalahgunaan tes serta memisahkan konsekuensi langsung testing dari konsekuensi yang diperantarai oleh faktor-faktor luar terhadap testing.

 

 

Konsultan Psikologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *