Pengertian dan Sejarah Psikologi Sosial

Pengertian Psikologi Sosial

Ciri pokok yang membedakan kehidupan manusia dengan yang lain adalah ciri sosialnya. Kegiatan manusia berada di tengah-tengah kehidupan bersama atau lingkungan sosial. Di tengah-tengah lingkungan sosial itu pula mereka saling berinteraksi satu sama lain. Di dalam saling berinteraksi mereka memahami tingkah laku orang lain, hidup bersama, memberikan respon dan perangsang. Tingkah laku individu merupakan respon atau perangsang bagi orang lain. Oleh karena seseorang itu merespon atau mereaksi tingkah laku orang lain, maka tingkah laku itu akan dipengaruhi baik oleh kehadiran, kenyakinan, tindakan dan ciri-ciri lain. Tingkah laku berikutnya banyak ditentukan oleh keberhasilan atau kegagalan dalam menimbulkan tingkah laku yang lain.

Dalam kenyataan ini tidak sesederhana seperti yang digambarkan yang merupakan pola urutan rangsang dan respon atau aksi dan reaksi saja, tetapi dapat menjadi lebih kompleks. Interaksi ini baik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dapat berjalan lancar bila masing- masing pihak memiliki penafsiran yang sama atas pola perilakunya, dalam suatu struktur kelompok sosial. Masing-masing pihak telah mempelajari rangsang serta respon mana yang harus dipilih dan dihindarkan.

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita misalnya, umum sudah memahami bahwa dua individu yang saling berkenalan atau dua sahabat lama yang saling bertemu akan berjabat tangan. Pola interaksi ini berjalan lancar karena memiliki persamaan dalam penafsiran. Dan antara mereka itu berasal dari lingkungan masyarakat yang tidak mengenal jabat tangan sebagaimana simbol perkenalaan atau keakraban. Pola tingkah laku yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang terbatas kemungkinan berbeda dengan pola tingkah laku masyarakat yang lebih luas.

Tingkah laku individu yang timbul dalam kontek sosial atau lingkungan sosial inilah yang akan dipelajari oleh psikologi sosial. Berdasarkan gambaran tersebut dikemukakan beberapa definisi psikologi sosial sebagai berikut :

1. Sherif dan Sherif (1956)

Psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial.

2. Kimball Young (1956)

Psikologi sosial adalah studi tentang proses interaksi individu manusia.

3. Krech, Crutefield dan Ballachey (1962)

Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu di dalam masyarkat.

4. Joseph E. Me Grath (1965)

Psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tingkah laku manusia sebagaimana dipengaruhi oleh kehadiran, kenyakinan, tindakan dan lambang-lambang dari orang lain.

5. Gerungan (1966)

Psikologi sosial adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menyelidiki pengalaman dan tingkah laku individu manusia seperti yang dipengaruhi atau ditimbulkan oleh situasi-situasi sosial.

6. Gordon W Allport (1968)

Psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengerti dan menerangkan bagaimana pikiran, perasaan dan tingkah laku individu dipengaruhi oleh kenyataan, imajinasi atau kehadiran orang lain.

7. Secord dan Backman (1974)

Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari individu dalam kontek sosial.

Dari definisi tersebut nampak bahwa disamping adanya perbedaan terdapat pula persamaan, dan bahkan saling melengkapi satu sama lain. Masalah pokok dalam Psikologi Sosial adalah “Pengaruh Sosial” (Social Influence). Pengaruh sosial inilah yang akan mempengaruhi tingkah laku individu. Berdasarkan inilah maka Psikologi Sosial didefinisikan sebagai : Ilmu yang mempelajari dan menyelidiki tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial.

 

A. Kedudukan Psikologi Sosial di antara Ilmu-Ilmu Sosial lainnya

Manusia, dimanapun dia berada, tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sejak dahulu orang sudah menaruh minat yang besar pada tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Minat yang benar ini tidak hanya timbul pada pengamat- pengamat awam, akan tetapi juga banyak terdapat dikalangan para sarjana dan cerdik cendekiawan.

Sekalipun demikian, psikologi sosial sebagai ilmu khusus yang mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, baru timbul kurang dari 100 tahun yang lalu (Mc. Dougall, 1908; Ross, 1908). Sebelum itu gejala perilaku manusia dalam masyarakatnya dipelajari oleh antropologi dan sosiologi.

Antropologi mempelajari manusia sebagai suatu keseluruhan. Objek material dari antropolgi adalah umat manusia dan objek formalnya adalah tentang produk- produk budaya umat, manusia. Antropologi mencoba menerangkan hakekat perilaku manusia dengan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan berbagai suku bangsa didunia. Karena manusia tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan budayanya, maka antropologi penting sekali artinya untuk psikologi sosial.

Berbeda dari antropologi sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai bagian dari lingkungan yang terbatas seperti keluarga, desa, masyarakat disuatu wilayah tertentu dan sebagainya. Karena setiap manusia selalu terkait dengan lingkungan masyarakat tertentu, maka pengaruh sosiologipun sangat besar dalam psikologi sosial. Peranan dari antropologi dan sosiologi dalam psikologi sosial antara lain adalah untuk mengurangi atau setidak-tidaknya menjelaskan bias (penyimpangan) yang terdapat dalam hasil penelitian psikologi sosial sebagai akibat dari pengaruh kebudayaan atau kondisi masyarakat di sekitar manusia yang sedang diteliti.

Adapun sasaran penelitian Psikologi Sosial sendiri adalah tingkah laku manusia sebagai individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. Inilah yang membedakan Psikologi Sosial dari antropologi dan sosiologi yang mempelajari tingkah laku manusia sebagi bagian dari masyarakatnya.

Perbedaan obyek material antara Psikologi Sosial dan Antropologi serta Sosiologi, membawa implikasi pula dalam bentuk perbedaan obyek formal atau metodologi yang digunakan dalam ilmu-ilmu tersebut. Jika antropologi dan sosiologi mengutamakan cara pendekatan deskriptif (menjelaskan, menguraikan gejala yang dipelajari) dan umumnya tidak melakukan generalisasi, maka psikologi sosial biasanya menggunakan metode eksperimental, yaitu metode dimana suatu gejala diamati dalam kondisi yang dikontrol (factor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap timbulnya gejala yang dikendalikan oleh peneliti). Berdasarkan pengamatan-pengamatan dalam kondisi yang terkontrol ini, peneliti biasanya membuat formula-fomula (rumus-rumus, dalil-dalil, hukum- hukum, teori-teori) yang berlaku umum.

 

B. Sejarah Psikologi Sosial

Psikologi Sosial mulai berkembang setelah Perang Dunia I. Kejadian ini diikuti oleh meluasnya Komunisme, depressi pada tahun 1930 an, munculnya Hitler, kekacauan diantara ras , Perang Dunia II, yang merangsang semua cabang-cabang ilmu sosial. Berbagai pertanyaan muncul untuk memperoleh jawaban atau masalah-masalah tersebut. Psikologi sosial sendiri dihadapkan pada berbagai masalah yang memerlukan jawaban dan penjelasan. Masalah-masalah itu adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan gejala- gejala kepemimpinan, pendapat umum (public opinion), propaganda, prangka sosial, perubahan sikap, komunikasi, pembuatan keputusan, hubungan ras serta konflik nilai.

 

Beberapa kejadian  sejarah  penting  dalam         perkembangan Psikologi Sosial dapatlah disajikan sebagai berikut:

 

Tahun

Kejadian

1897

Eksperimen dalam bidang Psikologi Sosial yang pertama  dilakukan oleh Triplett. Eksperimen ini bermaksud  meneliti pada kecepatan pengendara sepeda dengan hadirnya pengendara sepeda (motor) lain di depannya. Ternyata kecepatan ditemukan meningkat denga hadirnya pengendara lain didepannya (pacer).

1908

Buku pertama    tentang Psikologi social secara bersamaan dikeluarkan oleh Mc. Dougall dan Ross. Buku  Mc.  Dougall menekankan peranan instink      dalam tingkah laku sosial. Sedangkan buku Ross   pada peranan tingkah laku social.

1921

Terbitlah “The    Jornal   of Abnormal and Social Psychology” yang banyak memuat laporan penelitian di lapangan/ pada tahun 1965  Journal  itu  di  pisahkan  ke  dalam “Journal  of  Abnormal  Psychology”  dan “Journal   of   Personality   and   Social Psychology“.                                        

1920 -1950

 

Selama periode ini tekanan diletakkan pada pengukuran sikap dalam Psikolgi Sosial. Tokoh-tokoh yang mengembangkan valitidas, skala reliabitas untuk mengukur sikap adalah Bogardus (1924), Thurstone (1928), Likert (1932), dan Guttman (1950) juga  selama  periode ini  Mureno  (1934) mengembangkan tehnik Socio metri untuk mengukur ketertarikan.                                 

1945

Lewin   mendirikan   pusat   riset   untuk dinamika kelompok (Research Center for Group Dynamic) di  Institut Pusat Tehnologi Massachusetts. Pendirian  ini berarti pendekatan eksperimental dalam Psikologi Sosial. Banyak para tokoh senior dalam Psikologi Sosial sekarang ini yang mulai  pekerjaan  mereka  dengan Lewin  pusat  riset  ini.  Sesudah  Lewin meninggal pada tahun 1947 pusat riset ini pindah ke tempat yang sekarang ini yaitu Universitas Mechingan.

Akhir  1950 -1960

Selama periode ini Psikologi Sosial tumbuh secara aktif. Program gelar dalam Psikologi  dimulai  di  sebagian  besar Universitas. (Jhon H. Harvey dan William P. Smith, 1977).

 

Perlu diutarakan, bahwa 2 (dua) buku “Social Psychology” yang terbit tahun 1908, yang pertama ditulis oleh sesorang ahli psokologi yaitu William Mc. Dougall, sedangkan yang kedua di tulis oleh seorang ahli Sosiologi yaitu E. A. Ross. Kedua macam pendekatan yang berakar dalam 2 (dua) mata disiplin ilmu yang berlainan sampai sekarang masih Nampak dalam diri Psikologi Sosial. Meskipun sekarang ini ilmu psikologi sosial sudah dianggap dan diakui sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri diantara ilmu-ilmu sosial lainya.

Para ahli yang dapat dikategorikan sbagai tokoh dalam sejarah Psikologi Sosial dan sering disebut sebagai Bapak psikologi sosial adalah: Plato, Aristoteles, Hobbes, Comte, Hegel, Lazarus, Tarde, E.A. Roos dan sebagainya. Psikologi Sosial mulai berkembang segera setelah Perang Dunia II yaitu sekitar tahun 1930 an. Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat Perang Dunia I inilah yang merangsang timbulnya ilmu-ilmu sosial, termasuk didalamnya Psikologi Sosial. Tantangan : Bagimana mungkin melindungi atau memelihara nilai- nilai kemerdekaan atau kebebasan dan hal-hak individu dalam kondisi tekanan sosial yang memuncak ? Pertanyaan yang menantang ini membawa kepada suatu usaha pemecahan yang kreatif.

 

C. Tokoh dan Karya Psikologi Sosial

 

1. GABRIEL TARDE

Salah seorang yang telah dianggap juga sebagai Bapak dari Psikologi Sosial ialah Gabriel Tarde (18421904) seorang sosialog dan kriminilog Perancis.

Menurut pendapat Tarde, maka semua saling hubungan sosial (Social Interaction) itu berkisar kepada proses imitasi, bahkan semua pergaulan antara manusia itu menurut pendapat ini hanyalah berdasarkan proses imitasi itu ? imitasi tak lain dari pada contoh-mencontohi.Tiru-meniru, ikut-mengikut dan menurut pendapat Tarde perkembangan proses imitasi dalam masyarakat itu merupakan kelangsungan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama timbulah sebuah gagasan atau keyakinan baru didalam masyarakat itu. Penyebaran secara imitasi ini merupakan suatu proses psychhologis yang berlangsung menurut dalil-dalil tertentu.

Jadi dalam garis besarnya kehidupan masyarakat itu ditentikan oleh dua macam kejadian utama. Ialah pertama,timbulnya gagasan baru (inventions) yang dirumuskan oleh individu yang berbakat tinggi, dan proses-proses imitasi daripada gagasan-gagasan tersebut oleh orang banyak. Gelombang-gelombang imitasi tersebut dapat menimbulkan lagi gagasan-gagasan baru pula yang lalu dirumuskan oleh individu. Dan gagasan baru ini selanjutnya lagi di imitasi dan disebarkan antara orang banyak sehingga menimbulkan gelombang – gelombang imitasi pula, dan seterusnya yang menimbulkan lagi gagasan baru. Imitasi itu juga merupakan faktor utama dalam perkembangan individu misalnya; berlakunya adat kebiasaan itu sebenarnya berdasarkan imitasi daripada individu-individu manusia yang turun-temurun sehingga dapat menimbulkan tradisi-tradisi tertentu.

Menurut Tarde, masyarakat itu tiada lain dari pengelompokan manusia, dimana individu-individu yang satu mengimitasi dari yang lain dan sebaliknya: bahkan masyarakat itu baru menjadi masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai mengimitasi kegiatan manusia lainya. Kata Tarde: Lasosiete C’est I’imitasion.

Jugalah invention-invention (pendapat-pendapat baru) itupun sebenarnya merupakan hasil yang murni dari pada kelanjutan dan interfrensi gelombang- gelombang imitasi di dalam masyarakat. Tak ada pendapat baru apabila tidak terdapat penyebaran dari pada ide-ide bermula yang turut serta dan terlibat dalam invention baru itu.

Demikianlah beberapa pokok teori pcychologi sosial dari pada Gabrial Tarde, yang bertitik tumpuan kepada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi sosial antar manusia.

Terdapat pendapat Tarde ini telah dikemukakan beberapa kritik, selain dari pada kritik bahwa pendapatnya adalah berat sebelah misalnya oleh Chorus (5) ialah sebagai berikut:

  1. Hal-hal yang di imitasi itu harus mempunyai minat perhatian individu terlebih dahulu, supaya dapat di imitasi, tanpa minat perhatian terlebih dahulu tak ada imitasi.
  2. Selanjutnya harus terdapat sikap menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang mau di imitasi.
  3. Harus terdapat taraf pengertian yang cukup pada orang-orang terhadap hal-hal yang ingin di imitasi itu, dan hal ini tergantung pula kepada tingkat perkembangan individu, kepada taraf intelligensinya dan struktur kepribadian pada umumnya.

Mengingat hal-hal yang diajukan itu, maka proses imitasi tidak berlangsung otomatis, mau tak mau, seperti yang digambarkan oleh pendapat G. Tarde itu. walaupun terdapat Tarde tidak dapat diterima secara mutlak, namun olehnya telah dikemukakan suatu factor penting yang memegang peranan dalam pergaulan sosial antar manusia.

 

2. GUSTAVE LE BON (1841-1932)

Ia terkenal karena sumbangannya dalam lapangan “psychologi massa” atau ilmu jiwa orang yang ramai. Yang dimaksudkan dengan “masaa”, “Crowd” atau orang ramai itu ialah salah satu dari bentuk-bentuk pengelompokan dalam kehidupan manusia.

Ciri-ciri tersebut ialah:

  1. Suatu kumpulan dari banyak orang berjumlah ratusan atau ribuan, yang
  2. Berkumpul dan mengadakan saling hubungan untuk sementara waktu;
  3. Karena minat atau kepentingan bersama, yang sementara pula. contoh “crowd” Misalnya: para penonton pertandingan olah raga sepak bola; penonton bioskop yang besar, dll.

 

Menurut Le Bon, maka suatu massa seakan-akan mempunyai suatujiwa tersendiri yang berlainan sifatnya daripada sifat-sifat jiwa individu satu-persatu yang termasuk dalam massa itu. jadi seorang individu yang termasuk dalam massa itu, sebagai anggota massa akan berpengalaman dan bertingkah laku secara berlainan dibandingkan dengan pengalaman dan tingkah laku- tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu.

Beberapa sifat yang berlainan antara jiwa massa dan jiwa individu, misalnya: Jiwa massa itu lebih impulsif, lebih mudah tersinggung, ingin bertindak dengan segera dan nyata, lebih mudah terbawa oleh sentiment, kurang rasionil, lebih muda dipengaruhi (sugesti bell), lebih muda mengimitasi, daripada jiwa individual satu persatu orang yang sama tetapi dalam situasi kehidupan sehari-hari, yang bukan suatu massa itu. yang dimaksud oleh Le Bon dapat dijelaskan dengan sebuah contoh: periksalah tindak lanjut suatu massa yang terdiri atas penonton-penonton yang sedang menyaksikan pertandingan sepak bola dimana wasitnya berat sebelah dan berkali-kali membuat kesalahan yang menguntungkan permainan salah satu kesebelasan atau pada pertandingan sepak bola dimana terjadi permainan “kasar” oleh pemain kesebelasan lainnya, yang dibalas kembali lagi. Dalam situasi massa semacam ini, mudah terjadi kelebihan dimana para penonton sebagai keseluruhan memegang peranan yang aktif. Suasana gerak-gerik jiwa massa semacam ini yang mudah menimbulkan tingkah laku yang tidak senonoh lagi, sudah berlainan daripada gerak-gerik jiwa individu- individunya masing-masing apabila mereka berada dalam situasi kehidupan sehari-hari dan menyaksikan sesuatu yang pada hematnya tidak sepatutnya.

Jadi menurut Le Bon sebenarnya terdapat dua macam jiwa, ialah jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlainan sifatnya. Pendapat ini sejajar dengan pendapat Durkheim yang nanti dibicarakan dan yang sebelumnya sudah menyatakan bahwa terdapat “collective mind” yang berlainan sifatnya daripada “individual mind”. Oleh karena itu, menurut Durkheim, gejala-gejala yang kollektif itu tidak dapat diselidiki dengan sebuah ilmu jiwa yang hanya memperhatikan “indivudal mind”. (suatu ilmu jiwa yang hanya memperhatikan individual mind itu merupakan ilmu jiwa yang kolot dan terbatas. Seperti yang terdapat pada waktu kehidupan Durkheim. Psychologi modern mengaki 3 (tiga) segi hakiki daripada manusia, ialah segi individual, sosial dan ber ke-Tuhanan).

Sifat-sifat jiwa massa yang digambarkan oleh Le Bon itu pada umumnya merupakan suatu gambaran jiwa yang bersifat lebih “primitive” daripada sifat-siat jiwa individu (primitive dalam arti : buas, tidak rasionil, penuh sentimen yang sukar dikendalikan, tidak mengindahkan peraturan-peraturan). Menurut pendapat Le Bon, maka jiwa massa itu pula tak pernah mampu untuk melaksanakan sesuatu yang cerdas atau inteligen. Demikianlah pendapat Le Bon tentang ilmu jiwa massa.

Pada dewasa ini sudah timbul kritik terhadap pandangan ilmu jiwa massa Le Bon, dan dalam kritik- kritik tersebut tonjolkan bahwa jiwa massa itu tidak hanya mempunyai sifat-sifat yang negative saja, seperti yang dikemukakan Le Bon, melainkan pula sifat-sifat positifnya. Massa itu dapat membangun secara konstruktif, dan dapat menjadi sumber semangat yang dapat mempertinggi derajat manusia, serta mendorong untuk melakuakan perbuatan-perbuatan yang susila. Contoh : aksu masal untuk membantu dalam keadaan darurat dalam bermacam-macam bentuknya. Misalnya: menolong orang-orang yang terkena bencana alam. Aksi pertologan ini dapat kita lihat pada tingkat nasional di beberapa Negara di dunia ini malah juga berlangsung pada taraf internasional.

 

3. SIGMUND FREUD

Seorang ahli psychologi lainnya yang baik pula dibicarakan pendapatnya mengenai ilmu jiwa sosial, ialah Sigmund Freud (1856-1939), seorang pscyhiater Austria ternama.

Freud mempelajari juga ilmu jiwa massa seperti yang digambarkan oleh Gustava Le Bon itu, selaras dengan Gustava Le Bon. Ia berpendapat bahwa individu manusia yang berada dalam situasi massa, dengan sendirinya akan mengalami dan bertingkah laku sesuai dengan cara-cara jiwa massa itu, yang menurut Freud juga mempunyai sifat-sifat khusus yang berlainan dengan sifat-sifat individu dan yang bercorak lebih “primitif’.

Tetapi berlainan dengan Le Bon, yang berpendapat bahwa individu manusia mempunyai jiwa yang secara hakiki berbeda dengan jiwa massa, maka Freud berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya juga sudah berpendapat dan dicakupi oleh jiwa individu itu, hanya jiwa massa yang primitif itu terdapat pada individu manusia dalam taraf yang tidak sadar. Jadi sifat- sifat yang irrasionil itu, seperti lekas terbawa oleh sentiment, mudah tersinggung, mudah dipengaruhi atau mudah kena sugesti dan lain-lain itu menurut Freud dalam jiwa individu manusia sudah ada, tetapi dalam keadaan terpendam. Dan justru dalam situasi massa, maka sifat-sifat yang terpendam pada jiwa manusia seakan-akan diajak untuk menyatakan dirinya dengan leluasa, sehingga tampaklah “jiwa massa ” yang sebelumnya tidak terduga-duga pada jiwa individu manusia itu.

Sekianlah mengenai pendapat Freud tentang pcychologi massa. Kritik: seperti telah dikatakan diatas, maka patutlah dikemukaan kritik, bahwa Freud hanyalah melihat sifat-sifat yang negative saja pada jiwa massa itu, sedangkan ciri-ciri jiwa massa yang positif, seperti sifat rela membantu dalam keadaan darurat, sifat rela berkorban untuk sesuatu yang kontruktif dan lain-lain, sama sekali tidak dihiraukan oleh Freud dalam hubungan ini.

 

4. EMILIE DURKHEIM

Seorang tokoh sosiologi yang mempunyai pengaruh besar pula terhadap perkembangan pcychologi sosial ialah Emilie Durkheim (1858-1917).

Menurut pendapat Durkheim, sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan otonom seperti juga pcychologi. (soal ini pada pada zaman modern tidak dapat dibantah lagi tetapi pada waktu kehidupan Durkheim, hal ini belum jelas). Tetapi menurut Durkheim ghejala-gejala sosial masyarakat tidak dapat diterangkan oleh psychology, melainkan hanya oleh sosiologi, sebab yang mendasari gejala-gejala social itu adalah kesadaran koletif dan bukan “kesadaran individual”, sehingga gejalah-gejalah social yang menurut Durkheim disadari oleh jiwa kolektif, hanya dapat dipelajari oleh sosiologi yang mempelajari jiwa kolektif itu, dan tidak oleh psychologi yang menurut Durkheim hanya mempelajari gejala-gejala jiwa individuil. (Bahwasanya hal ini tidak berlaku lagi bagi psychologi modern kiranya sudah jelas, oleh karena psychologi modern mempelajari kegiatan jiwa manusia, baik sebagai makhluk individuil, maupun makhluk social, ataupun religius).

Menurut Durkheim, masyarakat itu terdiri atas kelompok-kelompok manusia yang hidup secara kolektif dengan pengertian-pengertian dan anggapan-tanggapan yang kolektif. Dan hanya kehidupan kolektif ini dapat menerangkan gejala-gejala social ataupun gejala-gejala kemasyarakatan.

Gagasan bahwa sebenarnya terdapat dua macam jiwa, ialah “group mind” dan “individual mind” jiwa kelompok dan jiwa individu yang berlainan itu pertama- tama dirumuskan oleh Durkheim, dan telah kita temukan pula pada pandangan Gustave Le Bon.

Norma-norma dan nilai-nilai social yang pada mula-mulanya tidak terdapat pada diri individu itu sendiri, lambat laun diberikan, bahkan kerapkali dipaksakan oleh masyarakat terhadap individu itu. Nyata bahwa pada pandapat Durkheim, mengenai saling hubungan antara individu dan kelompok, maka sangat diutamakan peranan kelompok itu saja.

 

5. KURT LEWIN

Salah seorang ahli ilmu jiwa lainya yang sangat berjasa pula pada lapangan psychologi social ialah Kurt Lewin, umurnya pendek (yang meninggal 1946) tetapi yang mulai suatu pendekatan dalam penelitian gejala-gejala social yang sangat berdaya. Ia telah mulai suatu aliran baru dalam psychologi yang disebut Topological psychologi atau “Filed psychology”. Field psychologi ini menegaskan bahwa: guna menyelidiki tingkahlaku manusia dengan sebaik-baiknya, haruslah diingat bahwa manusia itu hidup dalam suatu “Field” suatu lapangan kekuatan-kekuatan physis maupun psychis yang senantiasa berubah-ubah menurut situasi kehidupan; sehingga uraian mengenai tingkah laku manusia harus pula memperhatikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadapnya dalam lapangan yang berubah-ubah itu.

Kurt Lewin mengadakan penyelidikan- penyelidikan mengenai persoalan ilmu jiwa social yang khususnya disebut “group dynamies”, diantaranya mengenai peranan dari pada “suasana kelompok” terhadap prestasi kerja dan affisensi pekerjaan kelompok itu.

Sebuah experiment yang terkenal, ialah experiman dari Lewin, Lippit dan White, 1939/1940, yang bertujuan untuk meneliti pengaruh atau peranan dari tiga macam pimpinan terhadap suasana dan cara kerja kelompok.

Experimennya dilakukan dengan anak-anak lelaki berumur 11 tahun, yang dibagikan dalam tiga kelompok. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin (orang dewasa) yang ketiganya mempunyai cara-cara kepemimpinan yang berlainan.

Pada cara kepemimpinan yang disebut otoriter, maka pemimpin menemukan segala-galanya yang akan dibuat kelompok, semua kegiatannya baik penentuan tujuanya maupun langkah- langkah pelaksanaan secara terperinci ditentukan oleh pimpinan sendiri tanpa mengajak anggota-anggota kelompok lainya untuk turut menentukannya ataupun memberi pertimbangan-pertimbangannya.

Pada cara yang kedua dilangsungkan kepemimpinan yang demokratis, dimana kegiatan, tujuan umum dan cara-cara kerja kelompok dimusyawarahkan dengan mengajak anggota kelompok untuk menentukannya bersama. Dalam tingkahlaku terhadap kelompok, pemimpin ini bertindak sebagai seorang kawan yang memberi bantuan terhadap anggota-anggota kelompok bilamana bantuan itu diperlukan anggota kelompok, dan ia memberi ketenangan mengenai kemungkinan-kemungkinan dan cara-cara untuk menyelesaikan tugas dengan sebaiknya.

Pada cara yang ketiga, yang disebut dengan cara “Laissez Faire”, pemimpin bertindak acuh tak acuh dan menyerahkan cara perlaksanaannya dll, kepada anggota kelompok itu sendiri.

Pemimpin hampir tidak memberi nasihat dan bertindak seperti seorang yang hanya datang untuk melihat-lihat saja apa yang dilakukan kelompok.

 

 

Konsultan Psikologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *